Kamis, 12 September 2013

Kelas Belajar Oky - Koja & Cilincing




Sabtu, 06 Juli 2013

Aku mau ceritain pengalaman mengajar aku kemarin. Kemarin, aku bener2 diajak untuk melihat sisi lain kota Jakarta. Selama ini, aku biasanya berkunjung ke tempat2 mewah di Jakarta, seperti Mal, perusahaan besar, perumahan mewah, bahkan sekolah internasional. Aku tahu kalau ada sisi lain kota Jakarta di balik sisi glamornya sebagai ibukota, tapi aku ga pernah secara langsung pergi ke tempat tersebut dan berinteraksi dengan warganya.

Perjalanan kali ini menyusuri daerah Tanjung Priok. Hmm.. kalau diliat dari peta, jauh juga ya. Dari depok tuh ujung ke ujung banget. Aku sama 3 temenku (Asti, Eki, Fatma) berangkat dari Depok jam 7 pagi naik trans Jakarta. Dari awal udah ga dapet duduk, dan baru sampai di tempatnya jam stgh 12!! Dan, ga enaknya lagi, sebenernya janjian sama anaknya jam 10, jadi pas dateng anak2nya udah pada mau pulang  Untung mereka mau masuk lagi untuk belajar..

Lama bgt di jalan, dan pas jalan kaki menuju lokasi (di Koja), ternyata daerahnya agak banjir, sekitar di atas mata kaki dikit. Daerah Koja cukup padat, dan biasanya masyarakatnya punya usaha mobil derek. Dari segi suku dan agama, menurutku di daerah ini masyarakatnya lebih beragam dibanding tempat mengajar yang lain. Tapi, sekalipun lebih beragam, mereka hidup rukun satu sama lain. Aku titip pesan ke mereka agar meskipun berbeda, mereka harus tetap hidup akur, tidak boleh memilih2 teman karena perbedaan tersebut. 



Sejujurnya, kami sama sekali ga mempersiapkan apa2 untuk pelajaran hari itu. Aku kebagian kelas 1-3 SD. Mereka minta pelajaran matematika dan semanget banget buat belajar. Akhirnya aku minta mereka duduk per kelas (kls 1, 2, 3) terus kasih mereka soal matematika bergantian. Setiap selesai satu soal, aku minta mereka jawab bareng2.  Mereka semanget banget buat jawab, terutama kelas 1 nya. Kelas satu aku kasih soal tambah dan kurang tapi Cuma 1 sampai 10. Kelas 2 nya justru terlihat self-esteemnya rendah. Aku kasih mereka soal tambah dan kurang tapi angkanya sampai puluhan. Waktu dikasih soal yang agak sulit, mereka langsung bilang ga bisa, padahal belum dicoba. Kalau kelas 3, mereka tetap mau coba kerjakan sekalipun jawabannya salah. Contohnya, pas aku minta mereka buat tabel perkalian 3 dan 4, mereka tetap mau coba sekalipun ada yang salah dikit2. Tapi kan yang penting mereka ga mudah menyerah.


Ada satu anak yang pinter matematikanya. Aku lupa namanya siapa, tapi aku baru tau kalau ternyata dia udh naik kelas 4, jadi harusnya bukan aku yg pegang. Tapi dia mau belajar sama aku, jadi aku kasih perkalian yang lebih sulit, perkalian 21x21 sampai 25x25 dan ternyata dia bisa jawab semuanya dengan bener J
Terus, setelah itu, aku ceritain tentang Thomas Alfa Edison. Aku ceritakan kalau Thomas Alfa Edison tuh bukan berasal dari keluarga kaya yang berkecukupan, ia harus berjuang agar bisa sekolah dan bekerja untuk menghidupi keluarganya. Aku pengen anak2 ini tahu bahwa anak seperti mereka yang mungkin hidupnya kurang berkecukupan pun bisa meraih mimpi mereka. Aku juga ingin mereka punya sosok panutan untuk meraih cita-cita mereka. Haha, jadi inget pelajaran di Pelatihan, kan harus ada concrete experience yang membuat terhenyak dan sosok panutan untuk berubah :P

Rabu, 04 September 2013

My Students and Their Metacognitive Levels

www.jeffsapp.com




Hari ini aku belajar mengenai metakognisi, thinking about our own thinking. Metakognisi sendiri berbicara mengenai kontrol terhadap proses kognisi yang terdiri dari planning (perencanaan), monitoring (memonitor), dan evaluating progress (mengevaluasi kemajuan dalam menyelesaikan goal/tujuan). Hari ini, topik dari kuliah metakognisi adalah Self-Regulated Learning. Metakognisi dibagi menjadi dua komponen, pengetahuan mengenai kognisi dan self-regulatory mechanism (mekanisme mengatur diri sendiri). Self-regulatory mechanism contohnya adalah mengecek hasil kerja, membuat perencanaan, monitoring, dll (Baker & Brown). Zimmerman memfokuskan self-regulation pada konteks akademis, sehingga terciptalah istilah Self-Regulated Learning (Regulasi diri dalam belajar).  Belajar Self-Regulated Learning bikin aku inget sama dua murid privatku yang duduk di bangku SMP. 

Oh iya, aku jadi guru privat pelajaran Bahasa Indonesia, dan sekarang punya dua murid yang lagi persiapan UAN SMP. Murid yang pertama, sebut aja F, siswa sebuah SMP negeri di Jakarta. Siswa kedua, R, adalah siswa SMP swasta di Jakarta. Dua-duanya perempuan, umurnya sama, dan berasal dari SES (Socioeconomic status) menengah ke atas. Oh iya, aku ngajar di rumah mereka masing-masing, jadi mereka juga ga saling kenal satu sama lain.

                Setelah beberapa kali mengajar mereka, aku melihat strategi belajar yang sangat berbeda dari kedua muridku ini. R cenderung pasif. Saat mengajar R, biasanya R akan menunda-nunda waktu untuk belajar dan baru 10 menit kemudian siap untuk belajar. Selain itu, R baru mulai mengerjakan soal saat aku minta mengerjakan soal. Saat membahas soal, aku biasanya bertanya “Kenapa kamu jawab itu?” untuk memancing R agar R dapat mengontrol belajarnya. R biasanya akan menjawab “Tidak tahu” atau “Bingung”, atau hanya diam seolah mencoba keras memberikan jawaban yang aku inginkan. Padahal, dengan bertanya seperti itu, aku berharap R bisa mengetahui apa materi yang belum ia kuasai, seberapa jauh ia menguasai suatu materi, dan agar dapat memberikan strategi belajar yang tepat untuk R. Selain itu, R seringkali salah memahami soal, sering tidak mengerti soal, namun ia tidak akan mengatakan kalau ia tidak mengerti kecuali aku bertanya langsung sama R. Waktu belajar satu sesi (1,5 jam) sudah membuat R kelelahan, dan biasanya 10 menit terakhir R sudah kehilangan konsentrasi. 

Sementara itu, F sangat aktif dalam belajar. Saat aku akan mengajar F, pasti F udah mengerjakan soal-soal dan meminta aku untuk membahas soal-soal yang menurutnya sulit atau membingungkan. Setelah membahas pertanyaan yang membingungkan tersebut, jika F masih belum betul-betul paham, ia tidak sungkan untuk bertanya hingga benar-benar paham. Saat aku bertanya kenapa ia menjawab seperti itu, ia dapat menjelaskan dengan baik. F juga tidak ragu-ragu untuk meminta penjelasan jika jawaban yang ia yakin benar berbeda dengan jawaban yang aku berikan.  Waktu privat satu sesi tidak cukup untuk F, jadi kami biasanya belajar dua sesi (3 jam) tanpa istirahat dan F tetap fokus selama tiga jam tersebut. 

Aku lupa sumbernya dari mana, tapi ada empat tingkat metakognisi yang dilakukan oleh learner. Tingkatan tersebut:
Level 0 : Tacit Learner. Pada tingkatan ini, pelajar tidak sadar/aware terhadap kemampuan metakognisi mereka. Mereka tidak sadar/tahu materi apa yang mereka telah ketahui/kuasai dan apa yang belum mereka ketahui/kuasai. Mereka juga tidak menyadari sejauh mana proses belajar mereka untuk mencapai penguasaan materi. Mereka tidak memiliki strategi belajar. Bahkan, mereka tidak sadar bahwa mereka bermasalah dalam menguasai materi. Contohnya adalah: saat mau ujian trigonometri, seorang guru bertanya pada salah satu murid
Guru: “Kamu bisa tidak materinya?”
Murid:“Gatau”.
Guru: “Yang mana yang tidak mengerti?”
Murid: “Gatau”
Nah, murid yang bahkan ga sadar kalau ada yang salah dengan kognisinya ini yang masuk pada level 0. Kalau mereka aja gatau mana yang mereka udah kuasai ato belom, gimana mau tau progres belajarnya, gimana mau nyusun strateginya, dan gimana mau menguasai materi. Karena itu, pelajar pada tahap ini dikatakan sebagai Unconsciously Incompetent  (Tidak kompeten secara tidak sadar).

Level 1. Aware Learners.
Nah, kalo pelajar pada tahap ini, dia nyadar kalo ada yang salah dengan pemahamannya terhadap suatu materi. Contohnya, dia tahu kalau di matematika dia ga bisa trigonometri, tapi ga jelas ga bisanya di trigonometri yang kaya gimana (kan banyak tuh ada sin cos tan, perkalian sin cos, pembagian, dll). Tapi, pada level ini, pelajar Cuma tau kalau ada masalah di pemahamannya tanpa melakukan strategi untuk memperbaiki pemahamannya. Jadi, udah tau ga bisa integral, yaudah diem aja kaya ga ada masalah apa-apa. Tapi seengganya dia udah sadar lah kekurangannya di mana. Jadi, pelajar pada tingkat ini dikatakan sebagai consciously incompetent. 

Level 2. Strategic Learner
DI level ini, pelajar udah bisa mengorganisasi pikiran mereka. Jadi, mereka tau dengan jelas mereka ga ngertinya di mana, contohnya, si pelajar tadi tuh ngerti dia ternyata ga bisanya pas di perkalian dan pembagian sin cos tan. Nah, ga berhenti sampai tau masalahnya apa, dia juga udah mulai coba-coba pakai strategi yang dia bisa buat memperbaiki pemahamannya, contohnya dengan bertanya pada guru, cari di internet, baca buku, dan sebagainya. Pelajar dalam tahap ini disebut juga consciously competent. 

Level 3. Reflective Thinkers
Nah ini level yang paling tinggi. Dalam level ini, mereka sudah dapat meregulasikan (atau bahasa gampangnya, mengatur) cara belajar mereka. Dari hasil coba-coba strategi pada level 3, mereka dapat menggunakan strategi yang paling tepat di waktu dan kondisi yang tepat. Mereka tahu harus berbuat apa, atau gimana harus belajar dengan baik, dan melakukannya dengan rutin. 


Berdasarkan level metakognisi di atas, kira-kira dua murid aku itu masuk yang mana yaa??