Rabu, 04 September 2013

My Students and Their Metacognitive Levels

www.jeffsapp.com




Hari ini aku belajar mengenai metakognisi, thinking about our own thinking. Metakognisi sendiri berbicara mengenai kontrol terhadap proses kognisi yang terdiri dari planning (perencanaan), monitoring (memonitor), dan evaluating progress (mengevaluasi kemajuan dalam menyelesaikan goal/tujuan). Hari ini, topik dari kuliah metakognisi adalah Self-Regulated Learning. Metakognisi dibagi menjadi dua komponen, pengetahuan mengenai kognisi dan self-regulatory mechanism (mekanisme mengatur diri sendiri). Self-regulatory mechanism contohnya adalah mengecek hasil kerja, membuat perencanaan, monitoring, dll (Baker & Brown). Zimmerman memfokuskan self-regulation pada konteks akademis, sehingga terciptalah istilah Self-Regulated Learning (Regulasi diri dalam belajar).  Belajar Self-Regulated Learning bikin aku inget sama dua murid privatku yang duduk di bangku SMP. 

Oh iya, aku jadi guru privat pelajaran Bahasa Indonesia, dan sekarang punya dua murid yang lagi persiapan UAN SMP. Murid yang pertama, sebut aja F, siswa sebuah SMP negeri di Jakarta. Siswa kedua, R, adalah siswa SMP swasta di Jakarta. Dua-duanya perempuan, umurnya sama, dan berasal dari SES (Socioeconomic status) menengah ke atas. Oh iya, aku ngajar di rumah mereka masing-masing, jadi mereka juga ga saling kenal satu sama lain.

                Setelah beberapa kali mengajar mereka, aku melihat strategi belajar yang sangat berbeda dari kedua muridku ini. R cenderung pasif. Saat mengajar R, biasanya R akan menunda-nunda waktu untuk belajar dan baru 10 menit kemudian siap untuk belajar. Selain itu, R baru mulai mengerjakan soal saat aku minta mengerjakan soal. Saat membahas soal, aku biasanya bertanya “Kenapa kamu jawab itu?” untuk memancing R agar R dapat mengontrol belajarnya. R biasanya akan menjawab “Tidak tahu” atau “Bingung”, atau hanya diam seolah mencoba keras memberikan jawaban yang aku inginkan. Padahal, dengan bertanya seperti itu, aku berharap R bisa mengetahui apa materi yang belum ia kuasai, seberapa jauh ia menguasai suatu materi, dan agar dapat memberikan strategi belajar yang tepat untuk R. Selain itu, R seringkali salah memahami soal, sering tidak mengerti soal, namun ia tidak akan mengatakan kalau ia tidak mengerti kecuali aku bertanya langsung sama R. Waktu belajar satu sesi (1,5 jam) sudah membuat R kelelahan, dan biasanya 10 menit terakhir R sudah kehilangan konsentrasi. 

Sementara itu, F sangat aktif dalam belajar. Saat aku akan mengajar F, pasti F udah mengerjakan soal-soal dan meminta aku untuk membahas soal-soal yang menurutnya sulit atau membingungkan. Setelah membahas pertanyaan yang membingungkan tersebut, jika F masih belum betul-betul paham, ia tidak sungkan untuk bertanya hingga benar-benar paham. Saat aku bertanya kenapa ia menjawab seperti itu, ia dapat menjelaskan dengan baik. F juga tidak ragu-ragu untuk meminta penjelasan jika jawaban yang ia yakin benar berbeda dengan jawaban yang aku berikan.  Waktu privat satu sesi tidak cukup untuk F, jadi kami biasanya belajar dua sesi (3 jam) tanpa istirahat dan F tetap fokus selama tiga jam tersebut. 

Aku lupa sumbernya dari mana, tapi ada empat tingkat metakognisi yang dilakukan oleh learner. Tingkatan tersebut:
Level 0 : Tacit Learner. Pada tingkatan ini, pelajar tidak sadar/aware terhadap kemampuan metakognisi mereka. Mereka tidak sadar/tahu materi apa yang mereka telah ketahui/kuasai dan apa yang belum mereka ketahui/kuasai. Mereka juga tidak menyadari sejauh mana proses belajar mereka untuk mencapai penguasaan materi. Mereka tidak memiliki strategi belajar. Bahkan, mereka tidak sadar bahwa mereka bermasalah dalam menguasai materi. Contohnya adalah: saat mau ujian trigonometri, seorang guru bertanya pada salah satu murid
Guru: “Kamu bisa tidak materinya?”
Murid:“Gatau”.
Guru: “Yang mana yang tidak mengerti?”
Murid: “Gatau”
Nah, murid yang bahkan ga sadar kalau ada yang salah dengan kognisinya ini yang masuk pada level 0. Kalau mereka aja gatau mana yang mereka udah kuasai ato belom, gimana mau tau progres belajarnya, gimana mau nyusun strateginya, dan gimana mau menguasai materi. Karena itu, pelajar pada tahap ini dikatakan sebagai Unconsciously Incompetent  (Tidak kompeten secara tidak sadar).

Level 1. Aware Learners.
Nah, kalo pelajar pada tahap ini, dia nyadar kalo ada yang salah dengan pemahamannya terhadap suatu materi. Contohnya, dia tahu kalau di matematika dia ga bisa trigonometri, tapi ga jelas ga bisanya di trigonometri yang kaya gimana (kan banyak tuh ada sin cos tan, perkalian sin cos, pembagian, dll). Tapi, pada level ini, pelajar Cuma tau kalau ada masalah di pemahamannya tanpa melakukan strategi untuk memperbaiki pemahamannya. Jadi, udah tau ga bisa integral, yaudah diem aja kaya ga ada masalah apa-apa. Tapi seengganya dia udah sadar lah kekurangannya di mana. Jadi, pelajar pada tingkat ini dikatakan sebagai consciously incompetent. 

Level 2. Strategic Learner
DI level ini, pelajar udah bisa mengorganisasi pikiran mereka. Jadi, mereka tau dengan jelas mereka ga ngertinya di mana, contohnya, si pelajar tadi tuh ngerti dia ternyata ga bisanya pas di perkalian dan pembagian sin cos tan. Nah, ga berhenti sampai tau masalahnya apa, dia juga udah mulai coba-coba pakai strategi yang dia bisa buat memperbaiki pemahamannya, contohnya dengan bertanya pada guru, cari di internet, baca buku, dan sebagainya. Pelajar dalam tahap ini disebut juga consciously competent. 

Level 3. Reflective Thinkers
Nah ini level yang paling tinggi. Dalam level ini, mereka sudah dapat meregulasikan (atau bahasa gampangnya, mengatur) cara belajar mereka. Dari hasil coba-coba strategi pada level 3, mereka dapat menggunakan strategi yang paling tepat di waktu dan kondisi yang tepat. Mereka tahu harus berbuat apa, atau gimana harus belajar dengan baik, dan melakukannya dengan rutin. 


Berdasarkan level metakognisi di atas, kira-kira dua murid aku itu masuk yang mana yaa??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar