www.jeffsapp.com |
Hari ini aku belajar mengenai
metakognisi, thinking about our own
thinking. Metakognisi sendiri berbicara mengenai kontrol terhadap proses
kognisi yang terdiri dari planning (perencanaan), monitoring (memonitor), dan
evaluating progress (mengevaluasi kemajuan dalam menyelesaikan goal/tujuan). Hari
ini, topik dari kuliah metakognisi adalah Self-Regulated Learning. Metakognisi
dibagi menjadi dua komponen, pengetahuan mengenai kognisi dan self-regulatory
mechanism (mekanisme mengatur diri sendiri). Self-regulatory mechanism
contohnya adalah mengecek hasil kerja, membuat perencanaan, monitoring, dll
(Baker & Brown). Zimmerman memfokuskan self-regulation pada konteks
akademis, sehingga terciptalah istilah Self-Regulated Learning (Regulasi diri
dalam belajar). Belajar Self-Regulated
Learning bikin aku inget sama dua murid privatku yang duduk di bangku SMP.
Oh iya, aku jadi guru privat
pelajaran Bahasa Indonesia, dan sekarang punya dua murid yang lagi persiapan
UAN SMP. Murid yang pertama, sebut aja F, siswa sebuah SMP negeri di Jakarta.
Siswa kedua, R, adalah siswa SMP swasta di Jakarta. Dua-duanya perempuan,
umurnya sama, dan berasal dari SES (Socioeconomic status) menengah ke atas. Oh
iya, aku ngajar di rumah mereka masing-masing, jadi mereka juga ga saling kenal
satu sama lain.
Setelah
beberapa kali mengajar mereka, aku melihat strategi belajar yang sangat berbeda
dari kedua muridku ini. R cenderung pasif. Saat mengajar R, biasanya R akan
menunda-nunda waktu untuk belajar dan baru 10 menit kemudian siap untuk
belajar. Selain itu, R baru mulai mengerjakan soal saat aku minta mengerjakan
soal. Saat membahas soal, aku biasanya bertanya “Kenapa kamu jawab itu?” untuk
memancing R agar R dapat mengontrol belajarnya. R biasanya akan menjawab “Tidak
tahu” atau “Bingung”, atau hanya diam seolah mencoba keras memberikan jawaban
yang aku inginkan. Padahal, dengan bertanya seperti itu, aku berharap R bisa
mengetahui apa materi yang belum ia kuasai, seberapa jauh ia menguasai suatu
materi, dan agar dapat memberikan strategi belajar yang tepat untuk R. Selain
itu, R seringkali salah memahami soal, sering tidak mengerti soal, namun ia
tidak akan mengatakan kalau ia tidak mengerti kecuali aku bertanya langsung
sama R. Waktu belajar satu sesi (1,5 jam) sudah membuat R kelelahan, dan
biasanya 10 menit terakhir R sudah kehilangan konsentrasi.
Sementara itu, F sangat aktif
dalam belajar. Saat aku akan mengajar F, pasti F udah mengerjakan soal-soal dan
meminta aku untuk membahas soal-soal yang menurutnya sulit atau membingungkan. Setelah
membahas pertanyaan yang membingungkan tersebut, jika F masih belum betul-betul
paham, ia tidak sungkan untuk bertanya hingga benar-benar paham. Saat aku
bertanya kenapa ia menjawab seperti itu, ia dapat menjelaskan dengan baik. F
juga tidak ragu-ragu untuk meminta penjelasan jika jawaban yang ia yakin benar
berbeda dengan jawaban yang aku berikan. Waktu privat satu sesi tidak cukup untuk F,
jadi kami biasanya belajar dua sesi (3 jam) tanpa istirahat dan F tetap fokus
selama tiga jam tersebut.
Aku lupa sumbernya dari mana,
tapi ada empat tingkat metakognisi yang dilakukan oleh learner. Tingkatan
tersebut:
Level 0 : Tacit Learner.
Pada tingkatan ini, pelajar tidak sadar/aware terhadap kemampuan
metakognisi mereka. Mereka tidak sadar/tahu materi apa yang mereka telah
ketahui/kuasai dan apa yang belum mereka ketahui/kuasai. Mereka juga tidak
menyadari sejauh mana proses belajar mereka untuk mencapai penguasaan materi. Mereka
tidak memiliki strategi belajar. Bahkan, mereka tidak sadar bahwa mereka
bermasalah dalam menguasai materi. Contohnya adalah: saat mau ujian
trigonometri, seorang guru bertanya pada salah satu murid
Guru: “Kamu bisa tidak
materinya?”
Murid:“Gatau”.
Guru: “Yang mana yang tidak
mengerti?”
Murid: “Gatau”
Nah, murid yang bahkan ga sadar
kalau ada yang salah dengan kognisinya ini yang masuk pada level 0. Kalau
mereka aja gatau mana yang mereka udah kuasai ato belom, gimana mau tau progres
belajarnya, gimana mau nyusun strateginya, dan gimana mau menguasai materi.
Karena itu, pelajar pada tahap ini dikatakan sebagai Unconsciously Incompetent (Tidak
kompeten secara tidak sadar).
Level 1. Aware Learners.
Nah, kalo pelajar pada tahap ini,
dia nyadar kalo ada yang salah dengan pemahamannya terhadap suatu materi.
Contohnya, dia tahu kalau di matematika dia ga bisa trigonometri, tapi ga jelas
ga bisanya di trigonometri yang kaya gimana (kan banyak tuh ada sin cos tan,
perkalian sin cos, pembagian, dll). Tapi, pada level ini, pelajar Cuma tau
kalau ada masalah di pemahamannya tanpa melakukan strategi untuk memperbaiki
pemahamannya. Jadi, udah tau ga bisa integral, yaudah diem aja kaya ga ada
masalah apa-apa. Tapi seengganya dia udah sadar lah kekurangannya di mana. Jadi,
pelajar pada tingkat ini dikatakan sebagai consciously
incompetent.
Level 2. Strategic Learner
DI level ini, pelajar udah bisa
mengorganisasi pikiran mereka. Jadi, mereka tau dengan jelas mereka ga
ngertinya di mana, contohnya, si pelajar tadi tuh ngerti dia ternyata ga
bisanya pas di perkalian dan pembagian sin cos tan. Nah, ga berhenti sampai tau
masalahnya apa, dia juga udah mulai coba-coba pakai strategi yang dia bisa buat
memperbaiki pemahamannya, contohnya dengan bertanya pada guru, cari di
internet, baca buku, dan sebagainya. Pelajar dalam tahap ini disebut juga consciously competent.
Level 3. Reflective Thinkers
Nah ini level yang paling tinggi.
Dalam level ini, mereka sudah dapat meregulasikan (atau bahasa gampangnya,
mengatur) cara belajar mereka. Dari hasil coba-coba strategi pada level 3,
mereka dapat menggunakan strategi yang paling tepat di waktu dan kondisi yang
tepat. Mereka tahu harus berbuat apa, atau gimana harus belajar dengan baik,
dan melakukannya dengan rutin.
Berdasarkan level metakognisi di
atas, kira-kira dua murid aku itu masuk yang mana yaa??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar