Kamis, 12 September 2013

Kelas Belajar Oky - Koja & Cilincing




Sabtu, 06 Juli 2013

Aku mau ceritain pengalaman mengajar aku kemarin. Kemarin, aku bener2 diajak untuk melihat sisi lain kota Jakarta. Selama ini, aku biasanya berkunjung ke tempat2 mewah di Jakarta, seperti Mal, perusahaan besar, perumahan mewah, bahkan sekolah internasional. Aku tahu kalau ada sisi lain kota Jakarta di balik sisi glamornya sebagai ibukota, tapi aku ga pernah secara langsung pergi ke tempat tersebut dan berinteraksi dengan warganya.

Perjalanan kali ini menyusuri daerah Tanjung Priok. Hmm.. kalau diliat dari peta, jauh juga ya. Dari depok tuh ujung ke ujung banget. Aku sama 3 temenku (Asti, Eki, Fatma) berangkat dari Depok jam 7 pagi naik trans Jakarta. Dari awal udah ga dapet duduk, dan baru sampai di tempatnya jam stgh 12!! Dan, ga enaknya lagi, sebenernya janjian sama anaknya jam 10, jadi pas dateng anak2nya udah pada mau pulang  Untung mereka mau masuk lagi untuk belajar..

Lama bgt di jalan, dan pas jalan kaki menuju lokasi (di Koja), ternyata daerahnya agak banjir, sekitar di atas mata kaki dikit. Daerah Koja cukup padat, dan biasanya masyarakatnya punya usaha mobil derek. Dari segi suku dan agama, menurutku di daerah ini masyarakatnya lebih beragam dibanding tempat mengajar yang lain. Tapi, sekalipun lebih beragam, mereka hidup rukun satu sama lain. Aku titip pesan ke mereka agar meskipun berbeda, mereka harus tetap hidup akur, tidak boleh memilih2 teman karena perbedaan tersebut. 



Sejujurnya, kami sama sekali ga mempersiapkan apa2 untuk pelajaran hari itu. Aku kebagian kelas 1-3 SD. Mereka minta pelajaran matematika dan semanget banget buat belajar. Akhirnya aku minta mereka duduk per kelas (kls 1, 2, 3) terus kasih mereka soal matematika bergantian. Setiap selesai satu soal, aku minta mereka jawab bareng2.  Mereka semanget banget buat jawab, terutama kelas 1 nya. Kelas satu aku kasih soal tambah dan kurang tapi Cuma 1 sampai 10. Kelas 2 nya justru terlihat self-esteemnya rendah. Aku kasih mereka soal tambah dan kurang tapi angkanya sampai puluhan. Waktu dikasih soal yang agak sulit, mereka langsung bilang ga bisa, padahal belum dicoba. Kalau kelas 3, mereka tetap mau coba kerjakan sekalipun jawabannya salah. Contohnya, pas aku minta mereka buat tabel perkalian 3 dan 4, mereka tetap mau coba sekalipun ada yang salah dikit2. Tapi kan yang penting mereka ga mudah menyerah.


Ada satu anak yang pinter matematikanya. Aku lupa namanya siapa, tapi aku baru tau kalau ternyata dia udh naik kelas 4, jadi harusnya bukan aku yg pegang. Tapi dia mau belajar sama aku, jadi aku kasih perkalian yang lebih sulit, perkalian 21x21 sampai 25x25 dan ternyata dia bisa jawab semuanya dengan bener J
Terus, setelah itu, aku ceritain tentang Thomas Alfa Edison. Aku ceritakan kalau Thomas Alfa Edison tuh bukan berasal dari keluarga kaya yang berkecukupan, ia harus berjuang agar bisa sekolah dan bekerja untuk menghidupi keluarganya. Aku pengen anak2 ini tahu bahwa anak seperti mereka yang mungkin hidupnya kurang berkecukupan pun bisa meraih mimpi mereka. Aku juga ingin mereka punya sosok panutan untuk meraih cita-cita mereka. Haha, jadi inget pelajaran di Pelatihan, kan harus ada concrete experience yang membuat terhenyak dan sosok panutan untuk berubah :P

Rabu, 04 September 2013

My Students and Their Metacognitive Levels

www.jeffsapp.com




Hari ini aku belajar mengenai metakognisi, thinking about our own thinking. Metakognisi sendiri berbicara mengenai kontrol terhadap proses kognisi yang terdiri dari planning (perencanaan), monitoring (memonitor), dan evaluating progress (mengevaluasi kemajuan dalam menyelesaikan goal/tujuan). Hari ini, topik dari kuliah metakognisi adalah Self-Regulated Learning. Metakognisi dibagi menjadi dua komponen, pengetahuan mengenai kognisi dan self-regulatory mechanism (mekanisme mengatur diri sendiri). Self-regulatory mechanism contohnya adalah mengecek hasil kerja, membuat perencanaan, monitoring, dll (Baker & Brown). Zimmerman memfokuskan self-regulation pada konteks akademis, sehingga terciptalah istilah Self-Regulated Learning (Regulasi diri dalam belajar).  Belajar Self-Regulated Learning bikin aku inget sama dua murid privatku yang duduk di bangku SMP. 

Oh iya, aku jadi guru privat pelajaran Bahasa Indonesia, dan sekarang punya dua murid yang lagi persiapan UAN SMP. Murid yang pertama, sebut aja F, siswa sebuah SMP negeri di Jakarta. Siswa kedua, R, adalah siswa SMP swasta di Jakarta. Dua-duanya perempuan, umurnya sama, dan berasal dari SES (Socioeconomic status) menengah ke atas. Oh iya, aku ngajar di rumah mereka masing-masing, jadi mereka juga ga saling kenal satu sama lain.

                Setelah beberapa kali mengajar mereka, aku melihat strategi belajar yang sangat berbeda dari kedua muridku ini. R cenderung pasif. Saat mengajar R, biasanya R akan menunda-nunda waktu untuk belajar dan baru 10 menit kemudian siap untuk belajar. Selain itu, R baru mulai mengerjakan soal saat aku minta mengerjakan soal. Saat membahas soal, aku biasanya bertanya “Kenapa kamu jawab itu?” untuk memancing R agar R dapat mengontrol belajarnya. R biasanya akan menjawab “Tidak tahu” atau “Bingung”, atau hanya diam seolah mencoba keras memberikan jawaban yang aku inginkan. Padahal, dengan bertanya seperti itu, aku berharap R bisa mengetahui apa materi yang belum ia kuasai, seberapa jauh ia menguasai suatu materi, dan agar dapat memberikan strategi belajar yang tepat untuk R. Selain itu, R seringkali salah memahami soal, sering tidak mengerti soal, namun ia tidak akan mengatakan kalau ia tidak mengerti kecuali aku bertanya langsung sama R. Waktu belajar satu sesi (1,5 jam) sudah membuat R kelelahan, dan biasanya 10 menit terakhir R sudah kehilangan konsentrasi. 

Sementara itu, F sangat aktif dalam belajar. Saat aku akan mengajar F, pasti F udah mengerjakan soal-soal dan meminta aku untuk membahas soal-soal yang menurutnya sulit atau membingungkan. Setelah membahas pertanyaan yang membingungkan tersebut, jika F masih belum betul-betul paham, ia tidak sungkan untuk bertanya hingga benar-benar paham. Saat aku bertanya kenapa ia menjawab seperti itu, ia dapat menjelaskan dengan baik. F juga tidak ragu-ragu untuk meminta penjelasan jika jawaban yang ia yakin benar berbeda dengan jawaban yang aku berikan.  Waktu privat satu sesi tidak cukup untuk F, jadi kami biasanya belajar dua sesi (3 jam) tanpa istirahat dan F tetap fokus selama tiga jam tersebut. 

Aku lupa sumbernya dari mana, tapi ada empat tingkat metakognisi yang dilakukan oleh learner. Tingkatan tersebut:
Level 0 : Tacit Learner. Pada tingkatan ini, pelajar tidak sadar/aware terhadap kemampuan metakognisi mereka. Mereka tidak sadar/tahu materi apa yang mereka telah ketahui/kuasai dan apa yang belum mereka ketahui/kuasai. Mereka juga tidak menyadari sejauh mana proses belajar mereka untuk mencapai penguasaan materi. Mereka tidak memiliki strategi belajar. Bahkan, mereka tidak sadar bahwa mereka bermasalah dalam menguasai materi. Contohnya adalah: saat mau ujian trigonometri, seorang guru bertanya pada salah satu murid
Guru: “Kamu bisa tidak materinya?”
Murid:“Gatau”.
Guru: “Yang mana yang tidak mengerti?”
Murid: “Gatau”
Nah, murid yang bahkan ga sadar kalau ada yang salah dengan kognisinya ini yang masuk pada level 0. Kalau mereka aja gatau mana yang mereka udah kuasai ato belom, gimana mau tau progres belajarnya, gimana mau nyusun strateginya, dan gimana mau menguasai materi. Karena itu, pelajar pada tahap ini dikatakan sebagai Unconsciously Incompetent  (Tidak kompeten secara tidak sadar).

Level 1. Aware Learners.
Nah, kalo pelajar pada tahap ini, dia nyadar kalo ada yang salah dengan pemahamannya terhadap suatu materi. Contohnya, dia tahu kalau di matematika dia ga bisa trigonometri, tapi ga jelas ga bisanya di trigonometri yang kaya gimana (kan banyak tuh ada sin cos tan, perkalian sin cos, pembagian, dll). Tapi, pada level ini, pelajar Cuma tau kalau ada masalah di pemahamannya tanpa melakukan strategi untuk memperbaiki pemahamannya. Jadi, udah tau ga bisa integral, yaudah diem aja kaya ga ada masalah apa-apa. Tapi seengganya dia udah sadar lah kekurangannya di mana. Jadi, pelajar pada tingkat ini dikatakan sebagai consciously incompetent. 

Level 2. Strategic Learner
DI level ini, pelajar udah bisa mengorganisasi pikiran mereka. Jadi, mereka tau dengan jelas mereka ga ngertinya di mana, contohnya, si pelajar tadi tuh ngerti dia ternyata ga bisanya pas di perkalian dan pembagian sin cos tan. Nah, ga berhenti sampai tau masalahnya apa, dia juga udah mulai coba-coba pakai strategi yang dia bisa buat memperbaiki pemahamannya, contohnya dengan bertanya pada guru, cari di internet, baca buku, dan sebagainya. Pelajar dalam tahap ini disebut juga consciously competent. 

Level 3. Reflective Thinkers
Nah ini level yang paling tinggi. Dalam level ini, mereka sudah dapat meregulasikan (atau bahasa gampangnya, mengatur) cara belajar mereka. Dari hasil coba-coba strategi pada level 3, mereka dapat menggunakan strategi yang paling tepat di waktu dan kondisi yang tepat. Mereka tahu harus berbuat apa, atau gimana harus belajar dengan baik, dan melakukannya dengan rutin. 


Berdasarkan level metakognisi di atas, kira-kira dua murid aku itu masuk yang mana yaa??

Jumat, 08 Februari 2013

Memberi Bukan Menerima




Setiap umat beragama biasanya memiliki hari raya yang paling mereka nantikan. Sebagian umat Muslim menantikan datangnya hari Lebaran, sedangkan umat Kristen menantikan hari Natal, begitu pula dengan agama lain dengan hari rayanya masing-masing. Seorang teman saya di asrama yang menganut agama Islam sangat menantikan datangnya hari Lebaran. Ia sudah merencanakan apa yang akan ia nikmati di hari Lebaran, bahkan dua bulan sebelum Lebaran! Demikian pula seorang teman saya yang Kristen. Ia sangat menantikan datangnya Natal sehingga ia sudah mempersiapkan rencana untuk Natal bahkan sebelum Desember tiba. Tahukah alasan mengapa banyak orang begitu bersemangat mempersiapkan hari raya yang mereka nantikan?
            “...karena pada hari itu aku akan mendapat hadiah bla, bla, bla...”
            “...karena pada hari itu aku akan berkumpul dengan keluargaku dan menikmati makanan yang sangat enak...”
            “...karena pada hari itu aku akan mendapat berkat yang melimpah..”
            Ya, hal itu yang sering saya dengar dari mulut setiap orang yang beragama. Hal yang dapat saya simpulkan adalah, banyak dari kita yang sangat menantikan suatu hari raya tertentu karena pada hari itu kita berharap akan menerima sesuatu, baik materi, berkat, ketenangan, maupun pemuasan keinginan lainnya.
            Awalnya saya juga berpikir demikian. Saya adalah seorang Kristen dan saya sangat menantikan Natal. Seperti umat Kristen pada umumnya, saya berharap di hari Natal saya bisa mendapatkan berkat Tuhan yang lebih istimewa, hadiah yang indah, ucapan salam dari teman dan saudara, serta kehangatan saat berkumpul bersama keluarga. Namun, hal tersebut berubah ketika saya merayakan Natal dengan anak-anak dari sekolah untuk masyarakat tidak mampu.
            Hari ini saya menghabiskan waktu dengan merayakan Natal bersama teman-teman dari KDM Cibubur, sebuah sekolah untuk masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi. Kami merayakan Natal dengan mengajak teman-teman di sana bermain bersama tanpa membawa nama agama, karena tidak semua anak di sana adalah umat Kristen. Kami hanya bermain permainan sederhana berupa uji konsentrasi dan menahan tawa. Namun, saat kami mengajak mereka bermain dan mengobrol, saya melihat suatu ketertarikan dan kegembiraan yang terpancar dalam diri mereka, seakan-akan semua itu jarang sekali mereka dapatkan.  Saat kami membagikan kue-kue kecil kepada mereka, terlihat mereka makan dengan lahapnya sambil bertanya nama kue yang mereka makan (saat itu kami membagikan risoles isi sosis mayones dan kue pai). Keceriaan pada wajah mereka semakin terlihat saat kami membagikan sebuah kado kecil kepada masing-masing anak. Kado yang kami berikan hanya kotak pensil dan beberapa alat tulis, namun mereka menganggap kado itu sangat istimewa.
            Perayaan Natal di KDM sukses mengubah pola pikir saya tentang hari raya. Saya yang awalnya memikirkan tentang apa yang akan saya dapatkan ketika Natal berubah menjadi apa yang dapat saya berikan ketika Natal. Saat bermain dengan anak-anak di KDM, saya merasa ingin memberikan apa yang dapat saya berikan, baik itu jatah kue saya, perhatian, senyum, atau tawa. Ya, ada suatu gejolak dalam hati saya yang mendorong saya untuk memberikan apa yang saya miliki untuk membuat mereka tersenyum, sekalipun hal itu merugikan diri saya sendiri. Ternyata, sekalipun ‘memberi’ terkesan merugikan diri sendiri, rasa damai yang didapat jauh lebih besar dibanding kerugian material maupun fisik yang kita rasakan.
Pelajaran paling berharga yang saya dapatkan adalah, baik Natal maupun hari raya lainnya, seharusnya dimaknai dengan ‘memberi’, bukan ‘menerima’. Jangan sampai orientasi kita saat merayakan hari raya kita adalah ‘apa yang akan kita terima’, melainkan ubahlah menjadi ‘apa yang dapat kita beri’. Pemberian kita tidak perlu selalu berbentuk materi, kita dapat memberikan rasa syukur dan penghormatan kita pada Tuhan, perhatian pada orang-orang di sekitar kita, bantuan tenaga, senyum, salam, dan sebagainya. Percayalah, saat kita tidak mementingkan diri kita sendiri, Tuhanlah yang akan mencukupkan segala kebutuhan kita, bahkan membuatnya berlimpah. Selamat memberi!

Esai mata kuliah Logika dan Penulisan Ilmiah
Desember 2010

Story of My Student - N -

Just call her N. She is one of my private student. She is on grade 8 now, in an international school in Jakarta. Yesterday should be the last day i teach her. But, unfortunately (or fortunately) i still have to teach her this semester.

I actually don't know how to teach her. Well, she is kind (i don't know how to explain her kindness), a bataknese too (same as me), rich (of course), and don't want to learn math. She always scream to her maid when she wants something, throws everything (including her Mac, iPhone, expensive books, and calculator), and wants a break every 15 minutes.

This is what i usually do when we have private teaching session: When i come to her house, she's still take a shower (or maybe she start take a shower when i come), and it waste 15 minutes. Her maid will give me a glass of mango juice when i'm waiting her. Then, i come to her bedroom. She will ask me if she can have 10 minutes to prepare herself. Then, she will start doing her homework, i will sit beside her and look at her homework, nodding if she does it well, talk to her if she gets wrong answer. Then, after 1 hour, she will say "It's done. Bye." or maybe just try to ask me to go home. 

Sometimes, i wonder if she hates me. I can't even tell her to study 1,5 hour. I sometimes don't understand the materials quickly and need time to understand it. I'm not from mathematics faculty, as her parents wish. So, i decided to tell my boss that i can't teach her anymore, i want her to have a better teacher who knows math very well and can fulfill her parents' expectation.

Yesterday, she told me that she gets B- on her test. For me and her, it is a good result, because she usually get C and she thinks this time she will get C again. She said to me that her friends who got B- too were very disappointed, but i said to her 'just don't listen to them'.
Then, in the end of lesson, i told her that next week she will be taught by another teacher from mathematics faculty. And you wanna know her reaction? She was so disappointed. When i said that it's her mother's choice to have a teacher from mathematics faculty, she said "but you're as good as them" and "I'll talk to my mom about it". 

So, i actually glad to hear that she likes me. Deep inside my heart, i worry if another teacher will treat her bad as the teachers before me. I worry if the new teacher can't listen to her, don't know what she needs. So that's why, i decided to keep teaching her. I hope the theories that i learned in psychology can help me to do my job.

But i'm worried about my psychological happiness for this semester..

Wonder : Don't Judge A Boy by His Face

One of the book that i read this holiday is "Wonder", written by R. J. Palacio in 2012. 
In Indonesia, this book is published by Atria Publisher. 

http://floriayasmin.blogspot.com/2013/01/wonder.html


Before i tell you about this book, i want you to search "Mandibulofacial Dysostosis" on google. Try to look at the pictures of people who have this abnormality. Yes, this book is about one of them, a child named August Pullman who has "Mandibulofacial Disostosis" and his life. 

He knows he's different. He knows that his face is so ugly so everyone will stare at him twice when they meet him for the first time. He knows that everyone see him and feels sorry to him, or, even worse, mock him. But, he's just keep quiet, pretend that he doesn't hear that, pretend that nothing is different. Only in his house he feels secure. He really loves halloween, because, in halloween, he can just go everywhere without being stared by people. 

But, now, after he feels secure with his house, his family, and his homeschooling, he must face the real world, public school, on grade 5. He must deal with all entire school stare at him everyday, pretend that he can bring disease if somebody touch his body, and being mocked & ignored by his friends. 

This book tells us about his struggle with his new school life by his point of view, how he face the real world. Before he go to public school, his family and friends (which you can count with your fingers) always treat him special, tell him that he is special and love him. But, he must face the real world, the society that still think he's  ugly, he's different, and can't accept him easily. 

But, not only that, in this book, we can also know the caregivers' point of view, his sister and his bestfriends, and even, the caregivers' significant others (his sister's boyfriend, his sister's friend) which i think is the plus point of this book. We can know that August's life also affect their life, especially their social life. 

From this book, i learn aboout their struggle (August and another kids who have this disease) to face the society. They can't do it alone, there must be supports for them, from family, friends, school teacher, and others. They know that society won't accept them easily. Some of them just give up with their life, don't want to face the society. Some of their caregivers just don't want them to be hurt by the society, keep them in the safe place, and make them rely on their caregivers for the rest of their life. But, the best thing to do is, let them know the society when they ready, so they know that,  "..many bad people out there, but the good people are more. (August's mother, 2012).

R. J. Palacio wrote this book for the children, as cited from his website, 
" I hope that kids will come away with the idea that they are noticed: their actions are noted. Maybe not immediately or directly or even in a way that seems obvious, but if they’re mean, someone suffers. If they’re kind, someone benefits. And the choice is theirs: whether to be noticed for being kind or for being mean. They get to choose who they want to be in this world.  And it’s not their friends and not their parents who make those choices: it’s them."

Just a little talk about your friend behind his/her back can bring your friend to become your enemy
Just a little smile and hello to make a lonely person feels accepted
Just a little stare at someone to make him down
Just a little kindness in every act to make the world a better place


Last, this is one of August's quotes which i love the most:

Everyone in the world should get a standing ovation at least once in their life because we all overcometh the world. - Auggie” (Palacio, 2012)

You can visit her website : rjpalacio.com for the story behind the book, other faqs, and guide for teachers :)

Selasa, 05 Februari 2013

The Difference Between Just Friends and Bestfriends

Selama ini sebenernya gue selalu bertanya, apa sih bedanya temen biasa sama sahabat?
Gue awalnya kira, sahabat itu adalah temen yang deket banget sama kita, kemana2 bareng, tau rahasia2 yang umumnya ga diketahuin temen2 lain, dan yang terutama, it will last forever.

But, wait a sec..

Pengalaman gue di SMP nampaknya ga demikian, terutama buat yang terakhir. Gue pernah punya sahabat yang beneran sehati banget waktu SMP. Ntah berapa lah sahabat gue waktu itu. Saking sehatinya, waktu dulu pernah, pas gue nyanyiin satu lagu di dalam hati, eh 'sahabat' gue ngelanjutin lagu itu (nyanyi beneran) pas di timing gue berhenti nyanyiin di dalem hati. Gila ga tuh hebat banget (padahal cuma coincidence mungkin :P)

Tapi sayangnya, setelah masuk SMA, apalagi pas udah masuk kuliah, sikap mereka jadi beda ke gue. Ato mungkin gue juga jadi ikutan berbeda ya? Mereka jadi kaya orang yang gue ga kenal, atau cuma sekedar jadi temen di facebook. Buat nyapa aja awkward banget, padahal nyapa di facebook loh.

Dan hal itu biasanya terjadi pada 'sahabat' cewe. Gue lebih ga awkward sama sahabat (ato mantan sahabat?) cowo dibanding cewe. Ntah kenapa sih, mungkin perasaan gue aja, tp gue sendiri bingung apakah cuma gue yang nganggep mereka sahabat sementara mereka nganggep gue temen biasa?

Yang jelas, selesai SMP, gue ga mau lagi ke-Geer-an bilang orang lain sahabat gue.

Di SMA, gue mengenal istilah lain yang menggantikan sahabat, yaitu keluarga. ANTS (persekutuan kristen di sekolah), adalah keluarga gue. Term "keluarga" jauh lebih bisa gue mengerti dibanding sahabat. Temen2 SMA gue yang sampai sekarang masih catch up sama gue, mereka juga keluarga SMA gue. Temen2 dari kecil, mereka keluarga gue.

Pas kuliah, term "sahabat" ini kembali muncul. Terutama di persekutuan PO dan grup KAUP gue. Entah gue ke-Geer-an, atau salah denger, but they called me with that term. Sejujurnya, gue masih belom mengerti apa yang mereka maksud dengan "sahabat". Apa itu artinya : kita cuma deket pas kuliah, udah selesei kuliah ya liat aja nanti, ato apa? Apa ada syarat yang harus dipenuhi buat jadi "sahabat"? Apa gue, secara ga sadar, udah memenuhi syarat untuk menjadi "sahabat" mereka?

I prefer called them family, keluarga KAUP, keluarga Psiko, karena menurut gue, yang namanya keluarga tetaplah keluarga, mau cerai, mau pisah2, mau lupa, ya tetep aja keluarga. It will last forever. And i hope our relationship will last forever too, sampai kerja, punya keluarga sendiri, bahkan sampai kakek-nenek kalau perlu. Gue ga mau lagi punya "sahabat" yang hanya dekat pas satu sekolah/kampus aja :)

So, till i know the true definition of "best friends", i prefer call them "family"  ..        

Holidays will End SOON

Sebenernya liburan kali ini menurutku udah aku habiskan dengan cukup baik sih.
Ke rumah, udah.
Jalan-jalan, udah.
Cari duit, udah.
Cari pengalaman, udah.
Nulis di blog, udah.
Main PS di komputer, udah.
Beresin kosan, udah, meskipun berantakan lagi. hahaha

Tapi, yah, masih merasa tetep kurang aja liburannya (biasa lah ya mau dikasih liburan sepanjang apapun pasti bilangnya kurang). hahaha

Besok udah mesti balik ke depok soalnya masih ngajar. hiks.
Padahal masih pengen di rumah.
Tapi yah, ntar ada saatnya lagi untuk liburan di rumah ^^

But, the biggest problem is, IRS gue belom fix! 
Aaaaah, gue cuma butuh satu matkul pilihan, satu aja yang bener.
Tapi kenapa susah banget dapetnyaaaa....

Yah sekian carita hari ini, semoga IRS bisa hari ini kelar, jadi bisa kembali ke depok dengan tenang.

Bye Holiday,
Hello KAUP!

Bye Jogja! Bye Holiday!
       

Senin, 04 Februari 2013

So Hard and So Easy Becoming Private Teacher -part 2-

Nah, di part 1 kan udah cerita tentang murid pertama, sekarang murid keduaa. jeng jeng jeng

Murid kedua gue anak ekspatriat, mamanya Filipina, papanya New Zealand. Sebut aja nama anaknya Skye, tp biar gampang S aja ya. Umurnya 6 tahun dan mau masuk kelas 2, perempuan. S ini asalnya dari Auckland (kyaaa pengen bgt kesanaa!) tapi mamanya lagi ada kerjaan di Indonesia jadi mereka nyewa apartemen di Jakarta gitu.

Anaknya baiiik banget, cukup cerewet, dan cukup susah diatur juga. Tapi lucunya, kl lagi bercanda2 sampai ketawa ngakak, dia tiba2 suka peluk gue terus bilang "I love you". Lucu bangeeet!

Nah gue ngajar reading, writing, sama math gitu buat dia. Agak heran sih, soalnya kalau di Indonesia biasanya udah bisa baca tulis dari umur 5 gitu kan. Nah S ini, bahkan huruf b sama d masih suka kebalik. Hitung2an tambah sama kurang juga masih belum lancar. Dan, seperti kebanyakan anak-anak lainnya, S susah konsentrasi. Jadi akhirnya aku biasanya ngasih reward setiap dia bisa ngerjain tugas yang aku kasih, atau kasih tugas yang bikin dia banyak gerak. Contohnya, pas writing, aku minta dia bolak balik ke kamar mandi untuk liat benda apa yang bisa dia tulis di kertasnya. Terus, pas dia bisa nulis dengan rapi, aku minta dia tempelin stiker di kertasnya dan kasih liat mamanya. Jadi dia seneng gitu dipuji mamanya :D

Pernah ada kejadian, waktu itu pas gue ngajar tiba2 ada nenek2 di apartemen itu. Gue pikir itu mungkin grandma nya Skye. Terus gue nanya ke Skye
Gue : Skye, the woman there, is she your grandma?
Skye : No, she is my nana.
Gue : What is nana?
Skye : Nana is tita.
Gue: ??? What is Tita?
Skye: (ketawa) Tita is Nana
Gue : (nyerah) (diketawain)

dan sampai sekarang misteri Nana-Tita tersebut belum terpecahkan.

Oh iya, setelah ngajar anak lokal dan ekspatriat, aku ngerasa justru lebih dihargai oleh ekspatriat. Contoh sederhana, waktu ngajar N (anak lokal, SMP), aku duduk di kursi citos sementara dia duduk di sofa plus bantalan kaki (but i'm okay with that, cuma membandingkan kok). Sementara, waktu ngajar Skye (ekspatriat), waktu cuma ada 1 kursi komputer yang super nyaman n bisa diputer2 dan 1 bangku bakso, mamanya nyuruh aku duduk di kursi komputer itu, katanya " You're the teacher and she (Skye) is the student, so you're the one who should sit here." Keliatan banget ngehargain teacher nya.

Terus neneknya juga ngajarin skye buat menghargai aku sbg teacher and should call me Mam because i'm her mother at private class. Terharu deh jadinya :). Mamanya juga kasih makan siang pas harus ngasih extra time buat Skye. Sementara, di rumah N, gue harus nurutin apa yang diminta N, datang disambut dengan kesunyian di rumah, dan yah, justru gue lebih sering ngobrol ke pembantunya daripada ke ortunya ato N nya.

Tapi kedua pengalaman ngajar itu bener2 bikin aku makin kenal anak-anak dan dunia mereka, bikin aku tahu kenapa mereka bisa jadi diri mereka yang sekarang, dan tentu saja, belajar buat lebih bersabar :)




So Hard and So Easy Becoming Private Teacher -part 1-

Liburan semester 5 ini, setelah bersenang2 di Jogja, aku mulai kembali cari uang dengan jadi guru privat. Yeay!
Jujur aja sebenernya gampang banget untuk melamar jadi guru privat, banyak lembaga privat yang daftarnya tinggal pakai SMS atau email. Apalagi udah ada embel2 mahasiswa UI, lebih gampang lagi untuk diterima, bahkan ga jarang malah ditawarin.

Dari sekian banyak lembaga les privat yang aku daftar, ada satu lembaga yang cukup menggiurkan, sebut aja E. Di lembaga ini, guru privatnya dibayar minimal Rp 100.000 per pertemuan (include ongkos). Kalau di lembaga lain, biasanya Rp 80.000 per pertemuan dan udah sama ongkos. Tapi di lembaga yang menggiurkan ini, tutor nya harus ngajar dalam bhs Inggris, karena rata2 muridnya ekspatriat atau orang Indonesia yang sekolahnya di international school.

Nah, di lembaga privat ini, aku dikasih 2 murid untuk liburan kali ini. Murid yang pertama, sebut aja N. Dia kelas 2 SMP di suatu international school di Jakarta. Surprise Surprise, dia orang batak juga ternyata. Awal ketemu sama ortunya, ortunya cerita kalau N lemah banget di matematika. Terus ternyata orangtuanya pengen pengajar dari Matematika. Berikut diaolgnya:

Mamanya N (MN): Kuliah di UI ya? jurusan apa?
Nia (X): Psikologi, Tante.
MN: Oooh psikologi (nada ga enak, lirik gue bawah sampe atas), saya tadinya pikir dari matematika. Padahal kan saya mintanya dari matematika.
Nia (X): Oh gitu ya tante, maaf saya ga dikasih tau harus dari matematika soalnya tante.. (muka polos)

dan sejak saat itu aku mulai agak males ngajar anaknya. Ditambah lagi, pas pertama ngajar, anaknya keliatan ogah2an gitu. Akhirnya sebelum mulai pelajaran, aku tanya dulu ke dia..

Nia: How do you feel?
N: (burst into tears)

Terus dia cerita kalo orangtuanya tuh nganggep dia bodoh banget di mat, padahal nilainya lumayan loh (70 sampe 80 gitu). Dia bilang kalo dia ga mau les, tapi ortunya bilang "We already paid her (gue)". Nah kan mampus gue jadi kambing hitam.

Akhirnya sih tetep les, tapi dari jatah 1,5 jam, biasanya dia les cuma 1 jam dan langsung mengusir gue secara halus. Contohnya, selesei bikin PR, dia bakal bilang
"It's done for today, bye!"
 dan gue hanya bengong, lalu pergi.

Eh tunggu dulu, dia bukan ga suka sama gue, dia ga suka les matematikanya. hehe
Kalo lagi waktu istirahat, dia suka nunjukkin games nintendo nya ke gue dan excited bgt gitu jelasinnya.

Tapi, aku sendiri ngerasa ga sanggup untuk menuhin tuntutan orangtuanya. Orangtuanya minta gue ngajarin 3 materi dalam 1,5 jam (materi sebelumnya, materi yg sekarang dipelajari, materi yg akan datang) plus bantuin ngerjain PR. Agak 'gila' sih menurut gue, ditambah anaknya ga mau les. Terus, orangtuanya minta sekalian ngajarin persiapan tes-sesuatu-untuk-masuk-sekolah-di-Amerika yang membuat gue makin gila hahaha. Akhirnya, gue bilang ke atasan gue kalo aku cuma bisa ngajar sampai minggu ini. Kalo jahat sih, bisa aja gue terusin lesnya, toh untung di gue, dapet duit buat 1,5 jam tapi ngajarnya cuma 1 jam. Tapi yah itu bukan prinsip gue. hehe

Bersambung ke part 2 lalalala..